Friday, July 26, 2019

Menghidupkan Kembali Gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik

SHARE
Dr. Muhammad Supraja, S.Sos., SH., M.Si.
(Staf pengajar di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada dan penulis buku “Menuju Ilmu Sosial Profetik”.)

Kukuh Siswoyo, S. Sos., MPP.
(Alumnus Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada )

Abstrak
Perkembangan teori-teori ilmu sosiah telah dimulai sejak revolusi ilmu pengetahuan pada akhir abad ke delapan belas yang ditandai dengan dominannya penggunaan rasio dan pengalaman empiris di belahan bumi barat. Dampak revolusi ilmu pengetahuan bagi perkembangan ilmu sosial terus berkembang sampai dengan saat ini dimana ilmu pengetahuan memposisikan diri terpisah dari pengaruh institusi agama. Akan tetapi dampak dari perkembangan tersebut, ilmu pengetahuan dan khususnya ilmu sosial berada dalam posisi dilematis dimana hanya dapat menjelaskan fenomena sosial dan tidak dapat mengarahkan perubahan itu sendiri. Ilmu sosial yang pada awalnya dianggap merupakan sesuatu yang bebas nilai (value free) ternyata tidak bebas nilai atau sarat dengan nilai (value laden). Melalui Ilmu Sosial Profetik yang digagas oleh Kuntowijoyo bermaksud mengembalikan posisi agama sebagai sumber ilmu pengatahuan. Dalam Ilmu Sosial Profetik ini, Kuntowijoyo mencoba melakukan sintesis antara teori-teori ilmu sosial yang telah ada dengan pengetahuan-pengetahuan yang terkandung dalam kitab suci Al Qur’an yang diposisikannya sebagai data atau dokumen dari Tuhan. Upaya sintesis tersebut digambarkannnya sebagai sebuah upaya objektifikasi Islam, yaitu sebuah upaya pengilmuan ajaran-ajaran Islam. Dengan ini, Kuntowijoyo mengidealkan ilmu sosial dapat mengarahkan arah perubahan berdasarkan pengetahuan yang bersumber dari data atau dokumen dari Tuhan, al-Qur’an dan yang didasarkan pada prinsip “ta’muru bi al ma’ruf” atau yang disebutkan sebagai konsep liberasi, “tanhauna ‘an al munkar” atau yang disebutnya sebagai konsep humanisasi, dan “tu’minuna bi Allah” atau yang disebutnya sebagai konsep transendensi.

Kata kunci: ilmu sosial, paradigma ilmu, ilmu sosial profetik, objektifikasi, liberasi, humanisasi, transendensi, Kuntowijoyo.

Sekelumit tentang Kuntowijoyo


Prof. Dr. Kuntowijoyo merupakan seorang cendekiawan muslim yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kuntowijoyo tidak hanya dikenal sebagai seorang sejarahwan, sastrawan, dan budayawan tapi juga seorang cendekiawan muslim yang banyak memberikan sumbangsih bagi perkembangan dunia pemikiran ilmu pengetahuan sosial dan ke-Islaman di Indonesia. Satu hal yang hampir terlupakan dari seorang Kuntowijoyo bahwa beliau merupakan seorang tokoh yang menggagas sebuah alternatif pendekatan baru dalam ilmu sosial, yang dikenal dengan nama Ilmu Sosial Profetik.
Mengenai gagasannya tersebut dapat dilihat dari argumentasi yang dikemukakannya dalam ‘Islam sebagai Suatu Ide’; (Kuntowijoyo, 1989, hal, 59)

“Dengan berpikir objektif dan melihat realitas yang ada, kini saatnya Islam dipahami sebagai ilmu, bukan sebagai mitos atau ideologi. Ketika Islam dijadikan ilmu, usaha terpokok adalah memobilisasi kesadaran masyarakat. Kuncinya bukan lagi Negara, tetapi sistem. Dulu ada upaya mencapai Negara yang ideal, sekarang beralih menjadi upaya mencapai sistem yang rasional. Di situ negara hanya merupakan satu aspek dari sistem. Perjuangan pun tidak hanya tergantung pada perlemen, namun bisa lebih luas. Berpikir Islam sebagai Ilmu, maka menjadi formulasi yang teoritis. Ia selanjutnya berkembang menjadi disiplin ilmu dan memiliki program aplikasi, misalnya ilmu sosial Islam.” 

Hasil kajian yang dilakukan oleh Tim Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta yang dilakukan pada tahun 2014 mengenai pemikiran Kuntowijoyo menyimpulkan sebagai berikut (Sudarajat, dan Miftahuddin, 2014, hal. 5)

Pertama, dalam bidang sejarah, Kuntowijoyo tergolong sejarahwan yang piawai. Kuntowijoyo tidak hanya produktif dalam menulis sejarah, akan tetapi dia menganjurkan bagaimana seharusnya sejarah ditulis. Demikian pula, dia juga menganjurkan kepada orang Indonesia khususnya, bahwa sebagai pelaku sejarah apa yang seharusnya diperbuat masyarakat Indonesia. Kedua, pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam buku-buku karangan Kuntowijoyo tampak bahwa dia adalah seorang pejuang kebenaran sehingga layak diberi gelar cendekiawan. Kuntowijoyo adalah orang yang selalu resah melihat perilaku-perilaku manusia Indonesia yang tidak tepat, sehingga dia segera meluruskan dan mengkritisi lewat tulisan-tulisannya. Ketiga, sebagai seorang cendekiawan, misalnya, Kuntowijoyo menganjurkan dan menggariskan sebagai landasan kebenaran tindakan manusia, bahwa pada hakikatnya pergerakan umat manusia adalah dari etika idealistik ke etika profetik. Oleh karena itu, kerangka pikir atau paradigma pergerakan prilaku manusia harus meniru para Nabi, dengan kata lain, mempunyai etika profetik. 

Kuntowijoyo lahir di Sanden, Bantul,Yogyakarta, pada tanggal 18 September 1943 dan wafat pada tanggal 22 Februari 2005 dalam usia 61 tahun. Kuntowijoyo mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Setelah menamatkan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di Klaten, Kuntowijoyo melanjutkan pendidikan sarjana strata satu di Fakultas Ilmu Sosial Program Studi Sejarah, Universitas Gadjah Mada dan menamatkan pendidikannya pada tahun 1969. Kuntowijoyo memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang  American History  dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan gelar Doktor Ilmu Sejarah diperoleh dari Universitas Columbia pada tahun 1980. Ia mengajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada dan terakhir menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, dan menjadi peneliti senior di Pusat Studi dan Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kuntowijoyo meninggal dunia akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare, dan ginjal yang diderita setelah untuk beberapa tahun mengalami serangan virus meningoencephalitis. Ia meninggalkan seorang istri dan dua anak. (Wikipedia)
Kurang lebih 50 karya telah dibuat oleh Kuntowijoyo baik berbentuk tulisan ilmiah, cerita pendek, novel, dan puisi. Beberapa tulisan Kuntowijoyo diantaranya Dinamika Umat Islam Indonesia (kumpulan esai, 1985), Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Budaya dan Masyarakat (kumpulan esai, 1987), Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (studi/kajian 1991), Demokrasi dan Budaya (1994), serta Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung (1997), Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (novel, 1966), yang dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung, Rumput-rumput Danau Bento (drama, 1969), Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda dan Cartas (drama, 1972), Novel Pasar (terbit sebagai buku tahun 1994), Topeng Kayu (drama, 1973), Khotbah di Atas Bukit (novel, 1976), Isyarat (kumpulan sajak, 1976), Suluk Awung-Awung (kumpulan sajak, 1976). (Sudarajat, dan Miftahuddin, 2014, hal. 19.)
Beberapa karya dibidang kesusasteraan yang mendapat penghargaan diantaranya dramanya yang berjudul Rumput-Rumput Danau Bento, memperoleh Hadiah Harapan Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater nasional Indonesia (1967). Beberapa cerita pendek yang ditulisnya diantaranya; Dilarang Mencintai Bunga-Bunga memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra tahun 1969. Kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, kembali mendapat Penghargaan Hadiah Penulisan Sastra tahun 1999 dari Pemerintah RI melalui Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Pusat Bahasa). dramanya Tidak Ada Waktu, bagi Nyonya Fatma, Barda dan Cartas memperoleh Hadiah Harapan sayembara penulisan lakon DKJ tahun 1972 dan Topeng Kayu, memperoleh Hadiah Kedua dalam sayembara penulisan lakon DKJ tahun 1973. Novelnya Pasar, mendapat hadiah dalam Sayembara Mengarang Roman Panitia Tahun Buku Internasional DKI 1972. Karya novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas, berjudul Mantra Pejinak Ular (2000), ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2001. Beberapa cerpen juga terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas dan menjadi judul dari kumpulan cerpen itu sendiri, diantaranya Laki-laki yang Kawin Dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), dan Anjing-anjing Menyerbu Kuburan (1997). (Sudarajat, dan Miftahuddin, 2014, hal. 20)

Latar Belakang Kemunculan Ilmu Sosial Profetik di Indonesia

Perkembangan dan karir intelektual Kuntowijoyo tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu sosial dan konstelasi politik di Indonesia sejak zaman Orde Baru. Ilmu Sosial Profetik adalah pemikiran asli Kuntowijoyo yang muncul dari kritiknya terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia yang menjadi fondasi dasar dalam strategi pembangunan nasional Indonesia di era Orde Baru. Sebagai anggota Muhammadiyah, Kuntowijoyo adalah seorang rekan dalam wacana intelektual dengan Amin Rais. Amin Rais memiliki kritik yang sama dengan Kuntowijoyo dalam pengembangan ilmu sosial di Indonesia, yang menyatakan bahwa (Rais, M. Amin, 1984, hal. 27-30.)

Tidak hanya di bidang ilmu teknologi dan ekonomi, kita bergantung pada dunia yang lebih maju, tetapi juga ilmu sosial kita masih merupakan penerima dan konsumen. Untuk membuat teori Anda sendiri yang lebih relevan dengan masyarakat kita, mungkin diperlukan beberapa waktu. Karena itu, kita harus benar-benar kritis dalam menggunakan teori-teori yang berasal dari luar. Atau meminjam Dr. Ali Shariati dari Iran, sebagai cendekiawan Dunia Ketiga serta Dunia Timur (baca: Dunia Komunis). Terkadang kita menjadi bingung ketika kita mengambil pendirian teori dalam ilmu sosial yang agak 'ikonoklastik' atau destruktif. Misalnya kita dapat menyebutkan bahwa dalam melihat isu-isu pembangunan di Dunia Ketiga, resep atau resep yang diajukan oleh teori liberal dan teori neo-Marxis bertentangan dan tidak mungkin untuk berdamai ...... Kita harus menyadari bahwa teori telah dikembangkan di ilmu sosial dapat mengusulkan resep yang sangat berbeda, sedangkan fenomena itu terlihat sama. Jika kita tidak kritis, tidak selektif dan tidak progresif dalam memilih teori-teori dalam ilmu sosial yang beragam kita akan terperangkap dengan kebingungan karena asal mula mengambil teori secara jelas tidak akan membantu memecahkan masalah sosial yang kita hadapi .... Sebelum kita mampu menciptakan teori dan paradigma kita sendiri yang lebih relevan dengan kebutuhan kita, sikap terbaik adalah sikap terbuka dan berpikiran terbuka dan mencari jalan dan mengambil apa yang terbaik dan paling sesuai dari berbagai teori yang ditawarkan dalam perbendaharaan ilmu-ilmu sosial. 

Pernyataan M. Amin Rais yang disebutkan di atas sejalan dengan Arif Budiman, seorang profesor Sosiologi dalam Studi Asia Timur, Autralian National University, yang berpendapat bahwa (Budiman, Arief, 1984, hal. 168-169).

Tanpa adanya “peta bumi” ilmu-ilmu sosial, kita juga jadi tidak dapat berdialog dengan perdebatan ilmu-ilmu sosial dunia, karena kita tidak dapat mengetahui kita berada dalam posisi mana. Kita jadinya hanya mengiyakan, atau tidak menyetujui tanpa jelas dimana persamaan atau perbedaan kita yang sungguh-sungguh dan mendalam. Ahli-ahli ilmu sosial kita hanya dikenal di dunia melalui sumbangan data saja, tidak dalam teori. Kita belum ikut serta dalam pertukaran pendapat tentang teori, seperti halnya ahli-ahli ilmu sosial dari beberapa negara di Amerika Latin, Afrika dan Asia.

Dalam hal ini, Soedjatmoko, mantan Rektor Universitas PBB, juga menyatakan hal yang sama bahwa (Soedjatmoko, 1984, hal. 121)

Tanpa "peta bumi" ilmu-ilmu sosial, kita juga tidak bisa berdialog dengan perdebatan ilmu-ilmu sosial dunia, karena kita tidak tahu di mana kita berada. Kami akan setuju, atau tidak menyetujui tanpa kejelasan di mana persamaan atau perbedaan kami asli dan mendalam. Ilmuwan sosial kami hanya dikenal di dunia melalui kontribusi data saja, bukan dalam teori. Kami belum berpartisipasi dalam pertukaran ide tentang teori, seperti yang dilakukan para ilmuwan sosial dari beberapa negara di Amerika Latin, Afrika dan Asia. 

Sedangkan Moeljarto Tjokrowinoto mengadopsi Andre Gunder Frank yang mengatakan bahwa (Moeljarto, Tjokrowinoto, 1984, hal. 185)

Ketidaksuburan ilmu-ilmu sosial di Indonesia kemungkinan disebabkan oleh ketidakakuratan empiris, pengabaian teoritis, dan kearifan ilmu sosial yang tidak memadai di Indonesia. Transplantasi murni konsep, konstruksi, teori dan metodologi ilmu sosial dari negara-negara asing ke Indonesia akan mengarah pada gejala negatif seperti yang ditemukan di atas. Masalah difusi ilmu-ilmu sosial, karena masalah difusi dari inovasi sosio-teknologi sering terganggu oleh ilmu-ilmu sosial serta inovasi sosio-teknologi, membawa serat dari keseluruhan budaya dimana ilmu sosial berasal.

Sejalan dengan argumen di atas, Ignas Kleden menyatakan sebagai berikut (Kleden, Ignas, 1984, hal. 140-151)

“.... tanpa membuat kritik sistematis terhadap teori-teori yang sekarang membingungkan dalam praktek ilmu sosial di sini, dan hanya dengan mengambil operasinya, memperkenalkan dan menerapkan berbagai teori asing di Indonesia, sulit membayangkan persiapan ke arah penciptaan teori. Karena beberapa pengalaman kritis untuk penciptaan suatu teori hanya dapat diperoleh oleh aktivitas kritik sistematis teori yang disengaja, dan pengalaman semacam itu mungkin juga tidak akan pernah diperoleh jika seseorang hanya sibuk dengan operasionalisasi teori-teori asing di lapangan. .. kritik yang akan menguji, apakah pemahaman ideologis yang mendasari struktur atau mentalitas adalah ideologi yang cukup teruji. Secara praktis ini berarti melihat, apakah teori ilmu sosial, sebelum diwariskan ke bidang penelitian, mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruksinya atau isinya cukup konsisten. Epistemologi tidak lain adalah analisis logis dari ideologi pengetahuan ....... mengungkapkan dan sekaligus mengungkap aspek ideologis sebuah teori, yang menunjukkan kepentingan pihak mana yang secara sadar atau tidak sadar dibenarkan dan dibela oleh teori ilmu sosial." 

Argumentasi Hidajat Nataatmadja bisa jadi adalah pembenaran Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo, yang berpendapat bahwa (Nataatmadja, Hidajat, 1984, hal. 130)

Jika dalam agama ada dogma, maka dalam sains kita bisa mendapatkan hukum atau aksioma; jika dalam agama ada Titus, maka dalam sains kita akan mendapatkan metodologi; dan jika dalam agama ada mitos, maka dalam sains ada ideologi. Analogi seperti itu menunjukkan bahwa agama dan sains pada dasarnya bukanlah hal yang terpisah. Justru sekarang agama dan sains dipisahkan menjadi dua adalah refleksi dari kesalahpahaman yang telah dirintis sejak masa renaisan. 

Kontekstual Ilmu Sosial Profetik dalam Perkembangan Ilmu Sosial

Revolusi ilmu pengetahuan merupakan salah satu episode sentral dalam sejarah ilmu pengetahuan dan salah satu aspek penting dari sejarah intelektual dan budaya pada periode awal era modern. Episode tersebut memberi gambaran mengenai pengetahuan tradisional yang telah mencapai puncaknya melalui kekuatan pemaparannya yang didasarkan pada pengamatan akal sehat tentang bagaimana dunia muncul dan dibimbing oleh kebenaran metafisik yang selaras dengan pandangan Kristen pada awal masa Eropa modern. (Burns, William E., 2011, hal. xi.)
Periode ini merupakan sebuah garakan intelektual baru di akhir abad ke tujuh belas dan awal abad delapan belas yang jamak disebut dengan istilah era Pencerahan, the Enlightenment era, atau era yang mengandalkan pada akal atau nalar. Era Pencerahan dapat dipahami sebagai sebuah gerakan yang menolak agama atau sebuah gerakan yang membangun kemanusiaan sebagai hal yang terpisah dari ilmu-limu alam. Prinsip dasar pada era Pencerahan adalah bahwa hukum alam dapat digunakan untuk menjelaskan dan memahami semua aspek masyarakat. Para pelopor era Pencerahan percaya bahwa dengan menggunakan metode ilmiah, mereka dapat menjelaskan hukum masyarakat dan sifat manusia dan menciptakan masyarakat yang lebih baik. Mereka bebas dari pengekangan agama dan berfokus pada peningkatan kondisi ekonomi dan sosial. Gerakan itu secara sangat sekuler yang menghindari intervensi 'agama' dalam kehidupan ilmiah. (Demals, hal. 2) Bentuk paling ekstrem dalam bentuk oposisi terhadap ide-ide Pencerahan adalah filsafat kontra revolusioner Katolik di Prancis, dengan pandangan bahwa Tuhan adalah sumber masyarakat dan akal dipandang lebih rendah daripada keyakinan agama tradisional. (George Ritzer, 1983, hal. 6.) Dalam periode era Pencerahan ini, kebangkitan minat terhadap ilmu sosial muncul di pertengahan abad ke-18 di mana kapitalisme telah mulai melampaui kondisi awal dan secara bertahap menjadi sistem sosio-ekonomi yang dominan di Eropa Barat dan Utara.
Auguste Comte (1798-1853) merupakan orang pertama yang secara sistematis memberikan analisis lengkap tentang prinsip-prinsip karakter positif dari ilmu sosial dalam tradisi barat. Auguste Comte menggunakan istilah "ilmu sosial" untuk menggambarkan bidang ilmu pengetahuan yang baru ini yang diambil dari ide-ide Charles Fourier; Comte juga menyebut bidang tersebut dengan nama fisika sosial (social physics). (Peck, Peabody, & Richardson, 1897) Dasar pendekatan Comte adalah teori evolusi atau hukum tiga tahap di mana kelompok, masyarakat, ilmu pengetahuan, individu, dan bahkan pikiran bergerak melalui tiga tahapan yang sama; tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positif. (George Ritzer, 1983, hal. 14-16.) Comte menekankan pada faktor intelektual sebagai sumber tatanan sosial dan gangguan terhadap intelektual adalah penyebab gangguan sosial. Gangguan ini berasal dari sistem yang awal, yaitu teologis dan metafisik, yang berlanjut ke tahap positivistik (ilmiah). Hanya ketika positivisme berhasil melakukan kendali total, pergolakan sosial akan berhenti. Positivisme dianggap dapat membawa ketertiban dalam dunia sosial. (George Ritzer, 1983, hal. 16.)
Perspektif positivistik dalam tradisi teori sosial klasik Comte kemudian dilanjutkan oleh Herbert Spencer dengan hukum evolusi masyarakat, (Veeger, K.J., 1986, hal. 37-38.) Charles Darwin dengan teori Darwinisme sosial, (Veeger, K.J., 1986, hal. 59-60) dan Vilfredo Pareto dengan pandangannya tentang sosial sistem yang atomistik, individualistik, dan mekanistik. (Veeger, K.J., 1986, hal. 74-76) Dalam periode awal perkembangannya, masalah utama yang dihadapi ilmu sosial berhubungan dengan masalah epistemologi yang mempertanyakan mengenai karakteristik asli dan mendasar ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadopsi ilmu-ilmu alam, yaitu mengenai bagaimana pengetahuan tersebut diperoleh, bagaimana pengetahuan dikodifikasi dan disajikan, bagaimana pengetahuan harus diperiksa, dan bagaimana pengetahuan dibenarkan atau divalidasi. (Machamer, 1998, hal. 1-11)
Teori sosial modern fase awal pada akhir abad ke sembilan belas yang dikembangkan oleh Max Weber, Karl Marx, dan Emile Durkheim membahas pertanyaan-pertanyaan besar seperti perkembangan kapitalisme, munculnya birokrasi yang kompleks, konflik kelas, dan bagaimana tatanan moral dimungkinkan untuk terwujud dalam masyarakat urban modern. (Hirschman, 2000, hal. 2) Periode kedua perkembangan ilmu sosial pada abad kedua puluh ditandai dengan perkembangan teori sosial tingkat makro, seperti Fungsionalisme Struktural Talcott Parson (Ritzer, 1983, hal. 97-108) dan Robert K. Merton, (hal. 108-114) Neo fungsionalisme Jeffrey C. Alexander, (hal. 117-122) Teori Konflik Ralf Dahrendorf, (hal. 123-126) Neo Marxis Georg Lukacs (hal, 137-138) dan Anthony Gramsci, (hal. 139) serta Teori Sistem Niklas Luhmann; (hal. 185-196) dan juga perkembangan teori sosial tingkat mikro seperti Interaksionisme simbolik George Herbert Mead (hal. 205-220) dan Erving Goffman, (hal. 125-134) Etnomethodologi Harold Garfinkle (hal. 245-251), Teori Pertukaran George Homans (hal. 274-281) dan Peter M. Blau (hal. 282-285), Teori Jaringan Ronald Burt (hal. 293-294) dan Mark Granovetter (hal. 294-295), dan Teori Pilihan Rasional  James S. Coleman (hal. 296-303).
Periode ketiga perkembangan ilmu sosial di abad ke dua puluh ditandai dengan kemunculan perspektif baru dalam ilmu sosial, teori kritis. Genereasi pertama teori kritis mucul sebagai tanggapan atas permasalahan-permasalahan yang muncul di masyarakat modern atau patologi dalam masyarakat modern yang tidak dapat dipecahkan oleh teori-teori ilmu sosial klasik dan modern. Herbert Mercuse dengan konsep ‘Kritik Pedagogi’ dan ‘Estetika Pendidikan’ dalam pendidikan tinggi, and Eric Fromm yang menganalisi secara kritis dan menjelaskan berbagai penyakit dalam masyarakat dan menyebut masyarakat modern sebagai ‘masyarakat yang sakit’. (Supraja, 2018,  hal. 2)
Francis Fukuyama dalam bukunya, the Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, menjelaskan bahwa transformasi masyarakat dari masyarakat pertanian kemudian menjadi masyarakat industrial dan masyarakat industri telah membawa pengaruh yang luas terhadap perubahan sosial dalam sejarah manusia, yang disebutnya dengan istilah the great disruption. Hal ini dapat dijelaskan melalui penyebabnya, seperti kemiskinan dan ketimpangan, meningkatnya kekayaan yang menyebabkan kondisi yang pertama, munculnya negara kesejahteraan modern, dan pergeseran budaya yang luas termasuk keruntuhan agama. (Fukuyama, 2005, hal. 78-94) Menurut Fukuyama, masyarakat kapitalis modern cenderung menghancurkan kekuatan modal sosial dalam masyarakat. Negara-negara maju atau industri telah mengaburkan kekuatan modal sosial tanpa memiliki kemampuan untuk membangunnya kembali.  (Fukuyama, 2005, hal. 307-308)
Sejalan dengan Eric Formm tentang ‘masyarakat yang sakit’; apa yang dijelaskan oleh Fukuyama dapat ditemukan dalam penjelasan Jurgen Habermas tentang proyek modernitas yang belum selesai sebagai sebuah teori patologi modernitas. Menurut Habermas, rasionalitas telah menjadi karakteristik sistem sosial dalam bentuk yang berbeda, dan memiliki konflik dengan, rasionalitas yang menjadi ciri khas dunia kehidupan. Sistem sosial berkembang menjad kompleks, terdiferensiasi, terintegrasi, dan memiliki ciri khas nalar rasional. Dalam merespon kondisi ini, generasi kedua teori kritis muncul, Jurgen Habermas menganalisa masalah modernitas dalam masyarakat modern sebagai bentuk dominasi rasionalitas instrumental (zweck rationaliteit) yang mendominasi seluruh ilmu pengetahuan. Argumentasi ini didasarkannya atas penjelasannya tentang ‘nalar instrumental’ dan ‘nalar kritis’.
Jurgen Habermas sebagai salah seorang pendukung moderntas dan rasionalitas yang ada saat ini, memandang rasionalitas sebagai sebuah proyek modernitas yang belum selesai yang menyiratkan bahwa ada jauh lebih banyak yang harus dilakukan di dunia modern sebelum memikirkan kemungkinan jenis masyarakat lain, yang menyiratkan bahwa banyak hal yang harus dilakukan di dunia modern sebelum memikirkan kemungkinan jenis masyarakat lain, masyarakat post-modern seperti yang diusulkan dalam teori postmodern. Produk akhir dari teori sosial kritisnya adalah untuk mencapai masyarakat yang sepenuhnya rasional di mana sistem sosial dan dunia kehidupan dapat merasionalisasi dengan caranya sendiri, mengikuti logikanya sendiri. Rasionalisasi sistem sosial dan dunia kehidupan akan mengarah pada masyarakat dengan kelimpahan materi dan pengendalian atas lingkungannya sebagai akibat dari sistem rasional dan kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang hilang dari dunia kehidupan yang rasional. Hasil akhirnya adalah masyarakat yang sepenuhnya rasional di mana rasionalitas sistem sosial dan dunia-kehidupan dapat mengekspresikan diri sepenuhnya tanpa satu pun menghancurkan masyarakat lainnya. (Ritzer, 1983, hal. 444-445)
Kondisi tersebut dapat diraih melalui apa yang disebutnya dengan pentingnya proses pembelajaran untuk menghasilkan pengetahuan yang benar atas realitas tertentu yang disebutnya sebagai klaim atas validitas untuk memahami kebenaran dari luar dunia. Ini merupakan wacana teoritis and dikenal sebagai prinsip kebenaran, sementara pembahasan-pembahasan mengenai inti dunia (inner world) bertujuan untuk mencapai kebenaran norma-norma atau struktur normatif dimana klaim-klaim tentangnya bersifat praktis dalam hal kesadaran moral. (Supraja, 2018, hal. 43) Proses pembelajaran masyarakat yang dikemukakan oleh Habermas berlangsung melalui dua tingkatan proses. Pertama, tingkatan proses non reflektif. Dalam konteks ini, masyarakat mensyaratkan adanya klaim-klaim validitas teoretis dan praktis dalam tindakan. Sedangkan pada level kedua, level reflektif, di mana masyarakat belajar melalui wacana yang membantah klaim validitas (argumentasi). Pelembagaan keraguan dalam ilmu sains mendorong proses pembelajaran reflektif ini. (Supraja, 2018, hal. 43-44)
Dalam bukunya, Theory of Communicative Action, Habermas secara tidak langsung menegaskan pendapat para pendahulunya yang mengembangkan hipotesis bahwa evolusi kapitalis modern di negara kesejahteraan dilakukan melalui proses rasionalisasi sepihak. Dalam pandangan Habermas, konsep rasionalitas komunikatif yang lebih luas memberikan kerangka yang layak untuk mengamati kesatuan dimensi-dimensi dari dimensi-dimensi rasionalisasi saat ini dan kemudian menetapkan sifat dan penyebab potensial dari krisis umum pada konsep negara kesejahteraan modern. Ini adalah jalan keluar yang diusulkan oleh Habermas untuk mengatasi patologi dalam masyarakat modern yang disebut oleh teori tindakan komunikasi. (Breaten, 1991, hal. 76.)
Dalam pandangan Habermas, setiap ilmu adalah sarat nilai bahwa ia memiliki kepentingannya sendiri yang akan menentukan hasilnya. Habermas mengkategorikan ilmu pengetahuan menjadi tiga, yaitu (1) ilmu analitik empiris yang kepentingannya adalah untuk mengontrol dan mendominasi, (2) ilmu hermeneutik bersejarah yang kepentingannya adalah untuk mengeksplorasi pemahaman intersubjektivitas, dan (3) ilmu sosial kritis yang kepentingannya adalah emansipasi dan membebaskan. (Breaten, 1991, hal. 76.)
Di bagian lain, Alferd North Whitehead pada tahun 1956 menerbitkan bukunya yang berjudul “Science and Modern World yang mengeksplorasi hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama, dimana meskipun era Pencerahan telah memisahkan antara ilmu pengetahuan dan agama tetapi ia masih optimis tentang peran agama, sebagaimana ia mengatakan bahwa (Whitehead, 1956, hal. 191)

... Konflik antara sains dan agama adalah masalah kecil yang terlalu ditekankan. Kontradiksi logis belaka tidak dapat secara sendirinya menyatakan bahwa perlunya beberapa penyesuaian kembali, mungkin dari karakter yang sangat kecil di kedua sisi. Ingatlah berbagai aspek peristiwa yang berbeda yang dibahas dalam sains dan agama masing-masing. Ilmu pengetahuan prihatin dengan kondisi umum yang diamati untuk mengatur fenomena fisik; padahal agama sepenuhnya tersirat dalam perenungan nilai-nilai moral dan estetika. Di satu sisi ada os hukum gravitasi, dan di sisi lain perenungan terhadap sang bejat kekudusan. Apa yang dilihat oleh satu sisi, yang lainnya luput; dan sebaliknya. 

Di bagian lain dari bukunya, Whithehead mengatakan (Whitehead, 1956, hal. 184)

Kita harus menunggu: tetapi kita tidak harus menunggu dengan pasif atau putus asa. Bentrokan itu adalah tanda bahwa ada kebenaran yang lebih luas dan perspektif yang lebih baik di mana rekonsiliasi agama yang lebih dalam dan ilmu yang lebih tajam akan ditemukan .

Whitehead melihat bahwa akan ada titik temu antara ilmu pengetahuan dan agama. Dia melihat bahwa benturan, atau apa yang dikatakan Fukuyama sebagai gangguan (disruption), akan menemukan kebenaran yang lebih luas yang disebut oleh Habermas sebagai prinsip kebenaran, klaim teoritis yang merupakan proses pembelajaran untuk menghasilkan pengetahuan yang valid tentang realitas tertentu.

Kuntowijoyo dan Ilmu Sosial Profetik

Dari argumentasi di atas, masalah masyarakat modern dan hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama memiliki titik temunya dalam Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo bahwa Ilmu Sosial Profetik tidak hanya untuk menjelaskan realitas sosial dan mengubahnya, tetapi harus memberikan pedoman ke arah mana transformasi harus dilakukan dan apa tujuannya. Ilmu Sosial Profetik bukan hanya mengenai perubahan untuk perubahan itu sendiri, tetapi perubahan tersebut didasarkan pada cita-cita etika dan profetis tertentu.  (Kuntowijoyo, 1991, hal. 288)
Gagasan tentang Ilmu Sosial Profetik muncul sebagai interaksi pemikiran Kuntowijoyo dengan Moeslim Abdurrahman mengenai teologi transformatif. Kuntowijoyo merumuskan tiga prinsip dasar dalam Ilmu Sosial Profetik, yaitu emansipasi, liberasi dan transendensi; sebuah aspirasi profetik yang berasal dari misi sejarag Islam; (1) untuk melakukan hal-hal yang baik, (2) mencegah hal-hal yang buruk, dan (3) percaya kepada Tuhan (QS.3: 110). (Kuntowijoyo, 1991, hal. 288-289)
Dalam perspektif ini, Kuntowijoyo mencoba membangun hubungan hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Pertama, agama perlu memiliki kemampuan transformatif di tengah dua konstelasi, modernisasi di satu sisi dan teori sosial modern yang mandek di sisi lain. Yang kedua, Kuntowijoyo mengusulkan suatu perspektif paradigmatik di mana Alquran diposisikan sebagai kerangka kerja untuk menganalisis aktivisme sejarah manusia. Dan yang ketiga, studi dan penelitian harus difokuskan pada tradisi historis daripada tradisi normatif.(Hasan, 1998, hal. 23.)
Menurut Heru Nugroho, seorang Profesor Sosiologi di Universitas Gadjah Mada, mengemukakan bahwa (Kuntowijoyo, 1991, hal. 288)

Konsep humanisasi dan pembebasan dalam Ilmu Sosial Profetis sesuai dengan teori sosial kritis yang kepentingannya adalah untuk membebaskan. Sementara itu, konsep lain, transendensi, adalah konsep yang unik dari Ilmu Sosial Profetik yang menjadi dasar utama dari dua konsep lainnya. Transendensi merupakan nilai-nilai transenden sebagai bagian penting dari perkembangan peradaban. 

Ilmu Sosial profetik yang dikemukakan oleh Kontowijoyo sebagai tanggapan terhadap post modernisme, yang memiliki ciri khas dediferensiasi yang tidak jelas memisahkan atau menyatukan ilmu pengetahuan dan agama, dan untuk menanggapi modernisasi yang yang memiliki ciri khas diferensiasi yang memisahkan agama dan bagian lain dari kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan. (Kuntowijoyo, 2001, hal. 68)
Kuntowijoyo sampai pada kesimpulan bahwa Ilmu Sosial Profetik menempatkan posisi wahyu sebagai nilai-nilai yang memberikan arah kegiatan ilmiah dan sebagai data yang valid untuk mencapai kesimpulan teoretis. Dalam hal ini, Kuntowijoyo mengusulkan pendekatan analitis terhadap Alquran yang memandang Alquran sebagai data, dokumen dari Tuhan. Kuntowijoyo menyarankan dua langkah untuk rekonstruksi epistemologis yang merupakan mode pemikiran ulang dan mode penyelidikan yang menguraikan bahwa sumber ilmu pengetahuan salah satunya adalah wahyu, selain rasio dan pengalaman empiris. (Kuntowijoyo, 2001, hal. 289)
Langkah pertama adalah dekonstruksi bias ideologis yang secara inheren dominan dalam epistemologi ilmu sosial konvensional yang menolak wahyu (devine) sebagai sumber pengetahuan. Dan langkah kedua adalah menguraikan argumen dasar yang membuktikan bahwa tidak ada alasan untuk menolak wahyu sebagai sumber pengetahuan. Berkaitan dengan hal ini, Louay Safu dalam the Foundation of Knowledge: A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry (1996) menjelaskan permasalahan dalam ilmu pengetahuan modern yang menolak agama karena hanya merupakan kegiatan metafisika. Sebaliknya, Safy berhasil membuktikan bahwa kegiatan ilmiah selalu mengasumsikan pengetahuan metafisik yang menghasilkan postulat-postulat metafisik seperti (1) dunia alam dibentuk oleh hukum yang memungkinkan perilaku benda-benda alam beroperasi dalam keteraturan, (2) hukum yang digunakan untuk membangun keteraturan alamiah adalah rasionalitas dan oleh karena itu dapat dipahami oleh rasio manusia, dan (3) pengetahuan adalah nilai penting kemanusiaan yang lebih tinggi daripada kebodohan. (Safi, 2001, hal. 204-205.)
Pada metodologi Ilmu Sosial Profetik, Kuntowijoyo mengusulkan konsep 'objektifikasi metodologis'. (Kuntowijoyo, 1997, hal. 66-67) Untuk membedakannya dengan teologi yang menggunakan pendekatan tekstual-normatif, Kuntowijoyo mengusulkan pendekatan saintis (pengetahuan) dalam Ilmu Sosial Profetik atau objektivikasi pada nilai-nilai normatif transendental, yang terdiri dari tujuh prinsip metodologis, yaitu (1) dari abstrak ke konkret, (2) dari subyektif ke obyektif, (3) dari penafsiran individu ke interpretasi sosio-struktural, (4) dari non-historis ke historis, (5) dari formulasi umum untuk formulasi khusus dan empiris, (6) dari tertutup hingga terbuka, dan (7) dari normatif ke faktual atau normatif ke teoritis. (Kuntowijoyo, 1989, hal. 17-185.)
Objektifikasi adalah menerjemahkan nilai internal ke kategori obyektif. Dalam konsep ini, Kuntowijoyo dipengaruhi oleh konsepsi objektifikasi yang dikemukakan oleh Peter L. Berger. Dalam buku the Sacred Canopy, Berger mengusulkan suatu proses fundamental dari dialektika fenomena manusia dan masyarakat, mereka adalah eksternalisasi, objektivisasi dan internalisasi. (Berger, 1991, hal. 4.) Kuntowijoyo menggunakan perbedaan dialektis dengan merumuskan objektivikasi yang dimulai dari internasionalisasi, dan bukan dimulai dari eksternalisasi.  (Kuntowijoyo, 1989, hal. 185.)
Pada konsepsi objektivikasi Islam, Kuntowijowo mengusulkan rekonstruksi pemikiran agama dalam tiga cara, yaitu (1) dari dari abstrak ke konkrit, (2) dari ideologi ke ilmu pengetahun, dan (3) dari subyektif ke obyektif. (Kuntowijoyo, 1989, hal. 15-26)

Antara Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Sosial Profetik

Perspektif yang mengusulkan pentingnya ilmu sosial untuk memiliki landasan agama bukanlah perspektif baru dalam pemikiran Islam. Isma'il Raji 'al Faruqi terlebih dahulu telah menegaskan bahwa ilmu sosial harus memiliki fondasi Islam pada prinsip Tauhid. Beberapa argumentasi dari perspektif ini adalah sebagai berikut (1) penolakan positivisme yang menghasilkan objektivikasi palsu, (2) skeptisisme pada kemampuan teori dan metodologi ilmu sosial yang muncul dalam masyarakat barat dalam menjelaskan realitas sosial di negara-negara non-barat. dunia, khususnya di dunia muslim dengan pengetahuan dan simbol yang unik, (3) pentingnya ilmu sosial untuk memiliki landasan dan penyelarasan pada nilai-nilai untuk menghindari efek instrumentalitas pada ilmu pengetahuan, dan (4) pentingnya untuk menciptakan metodologi alternatif yang lebih sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam.. (Bagader, 1985, hal. 1-3.)
Berkaitan dengan hal ini, Kuntowijoyo berpendapat bahwa itu tidak realistis dan tidak menyejarah jika mencoba mengembangkan ilmu sosial tanpa melalui proses interaksi dengan ilmu sosial barat yang masih dominan hingga saat ini. Kuntowijoyo dalam membangun Ilmu Sosial Profetik mengadopsi teori dan metodologi sosial barat untuk memperkaya proses pembentukan teori. Hal ini dapat dihindari untuk membuat suatu sintesis teori bahkan kerumitan pada teori-teori yang diadopsi oleh Kuntowijoyo. (Rahardjo, Paradigma., hal. 17)
Kuntowijoyo dalam Ilmu Sosial Profetik menolak pandangan dikotomi antara ilmu sosial Islam dan ilmu sosial barat. Tujuan dari Ilmu Sosial Profetik adalah untuk merumuskan ilmu sosial yang objektif melalui objektiviasi nilai transendental ke dalam teori-teori sosial. (Subhan, Arief, 1994, hal. 99-100.)
Ilmu Sosial Profetik menolak prinsip bebas-nilai dalam ilmu sosial. Pada masalah bebas-nilai dalam ilmu sosial dapat ditelusuri dalam karya-karya David J. Grary yang menyatakan bahwa sosiologi bebas-nilai adalah doktrin hipokrit dan tidak bertanggung jawab, (Morrid and Conyers, 1968, hal. 14.) dan Gunar Myrdal yang menyatakan bahwa tindakan mengungkapkan nilai-nilai secara eksplisit adalah penting dalam menentukan kerangka teoritis untuk penelitian. (Myrdal, 1981, hal. 52-53.) Dalam Ilmu Sosial Profetik, Kuntowijoyo secara eksplisit menyatakan bahwa diperlukan pondasi nilai agar ilmu sosial dapat melakukan tugas transformasinya.

Ilmu Sosial Profetik sebagai sebuah Paradigma Baru dalam Ilmu Sosial

Berdasarkan karya Thomas Kuhn yang berjudul The Structure of Scientific Revolution (1962), George Ritzer telah mencapai tesisnya bahwa ilmu sosial adalah sebuah ilmu yang berparadigma ganda dalam Sociology: A Multiple Paradigm Science. (Ritzer, 1983, hal. 3-4) Menurut Kuhn perkembangan ilmu pengetahuan adalah kemajuan yang bersifat revolusioner dan pandangannya bertentangan dengan asumsi umum yang dianut oleh banyak ilmuwan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan adalah kemajuan yang bersifat akumulatif. Model Kuhn tentang perkembangan ilmu pengetahuan dapat dijelaskan dalam skema 1. (Kuhn,1962)
Skema 1. Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Thomas Kuhn

Ilmu pengetahuan normal adalah periode akumulasi ilmu pengetahuan di mana ilmuwan bekerja dan mengembangkan paradigma yang dominan. Tetapi ketika paradigma dominan tidak mampu memberikan penjelasan yang tepat mengenai suatu masalah atau subyek yang dihadapi oleh para ilmuwan, dan itu merupakan anomali dari paradigma dominan. Hal ini menyebabkan krisis dalam sains dan validitasnya akan dipertanyakan. Ketika anomali mencapai puncaknya, sebuah revolusi mungkin terjadi atau muncul sebagai jalan keluar dan solusi dari paradigma sebelumnya. Paradigma yang muncul akan menjadi paradigma baru yang dominan dan menggantikan paradigma sebelumnya yang cenderung menurunkan pengaruhnya di antara para ilmuwan.
Paradigma adalah terminologi kunci dalam model pengembangan ilmu pengetahuan yang diperkenalkan oleh Kuhn. Ritzer mendefinisikan dengan lebih jelas tentang paradigma, yaitu  sebagai sudut pandang fundamental ilmuwan tentang apa yang akan menjadi subjek permasalahan yang harus dipelajari dalam sebuah cabang disiplin ilmu. Paradigma ini akan membantu merumuskan apa yang bisa dipelajari, masalah apa yang harus dipecahkan, bagaimana memecahkan masalah, dan aturan apa yang harus diikuti untuk menafsirkan informasi yang dikumpulkan untuk memecahkan atau menjawab masalah atau pertanyaan. Dalam sudut pandang ini, mungkin lebih dari satu paradigma dapat muncul dalam suatu disiplin ilmu.
Konsep paradigma digunakan oleh Ritzer untuk mengklasifikasikan berbagai teori dalam ilmu sosial yang disebutkan di atas. Teori-teori tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga paradigma, yaitu paradigma fakta sosial, defenisi sosial, dan perilaku sosial. Ritzer mencoba menggabungkan berbagai paradigma ke dalam satu paradigma daripada menerapkan satu paradigma secara terpisah dengan yang lain, yaitu paradigma realitas sosial. Paradigma realitas sosial menggunakan interelasi antara dua kontinum sosial dasar, kontinum makroskopik-mikroskopis dan kontinum obyektif-subjektif. Dua kontinum sosial dasar dalam paradigma realitas sosial dipandang sebagai kesatuan sosial yang luas, yang mengalami perubahan terus-menerus, dan dapat dijelaskan menjadi empat tingkat realitas sosial, yaitu kesatuan makro-objektif, struktur makro-subyektif, fenomena mikro-obyektif, dan fakta-fakta mikro-subyektif. Keempat tingkat realitas sosial dapat dijelaskan dalam skema berikut: (Ritzer, 1983, hal. 132)

Skema 2. Skema hubungan antar paradigma dalam paradigma realitas sosial

Dari sudut pandang ini, Ritzer menjelaskan bahwa masalah yang dihadapi masyarakat modern terletak pada bagaimana ilmu sosial menjelaskan realitas sosial masyarakat modern. Setiap upaya yang menggunakan paradigma tunggal akan gagal untuk menangkap seluruh fenomena masyarakat. Hal ini berarti harus menerapkan penjelasan yang bersifat multi paradigma pada masalah yang dihadapi untuk menemukan penjelasan yang komprehensif.
Seperti yang dikatakan Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Profetik adalah ilmu sosial alternatif. Melalui konsepsi Ritzer tentang paradigma ilmu pengetahuan, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo untuk menjadi paradigma baru dalam ilmu sosial. Dalam hal ini, Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo mencoba untuk menyatukan kembali hubungan antara agama dan sains yang telah terpisah sejak zaman Pencerahan. Kemajuan ilmu pengetahuan di era Pencerahan dapat digambarkan sebagai berikut: (Kuntowijoyo, 1989, hal. 64)

Skema 3. Proses perkembangan ilmu pengetahuan


Sementara Ilmu Sosial Profetik, menurut Kuntowijoyo mengusulkan ilmu integralistik yang memperkenalkan jenis lain kemajuan ilmu pengetahuan yang dapat digambarkan sebagai berikut: (Kuntowijoyo, 1989, hal. 65)

Skema 4. Proses perkembangan ilmu pengetahuan integralistik

Di zaman pencerahan, ilmu pengetahuan berasal dari manusia atau anthroposentrisme yang memisahkan dari agama sebagai sumber prinsip moral dan normatif. Sebaliknya dalam teoantroposentrisme, Tuhan adalah sumber pengetahuan. Di era pencerahan, kemajuan pengetahuan yang berasal dari manusia menghasilkan diferensiasi pengetahuan dan pada hasil akhirnya menjadi ilmu. Sementara itu, dalam teoanthroposentrisme, kemajuan pengetahuan yang berasal dari Tuhan menghasilkan dediferensiasi pengetahuan dan pada hasil akhir menjadi ilmu yang integral.
Istilah profetik dalam ilmu pengetahuan telah diadopsi oleh beberapa ilmuwan dalam berbagai konteks dan disiplin ilmu. Eric From, seorang penganjur Mazhab Frankfurt, menggunakan istilah ini untuk membedakan konsep perdamaian dalam tradisi Kristen dan konsep mesianistik tentang pembebasan. Menurut Fromm, konsep ini sudah cukup lama yang muncul dalam tradisi Yahudi-Kristen. (Supraja, 2018, hal. 83-84.) Robert W. Friederichs menggunakan konsep ini untuk membedakannya dengan konsep imam, yang dimaksudnya dengan ini adalah usulan untuk perubahan dan tidak mempertahankan status-quo, mengambil risiko dan tidak untuk memiliki kepastian, standar persepsinya subjektif dan tidak obyektif. (Supraja, 2018, hal. 84) Ali Shariati, seorang Sosiolog Iran juga menggunakan konsep ini yang dia maksud sebagai ‘pemikiran cemerlang’, atau dalam bahasa Arab sebagai al rausyan al fikr.  (Syariati, 1988, hal. 84-85)
Kuntowijoyo menggunakan istilah profetik dengan mendasarinya pada tiga elemen; libarasi, humanisasi dan transendensi yang ia adopsi dari Alquran yang mengatakan “Kamu adalah umat terbaik yang Kami turunkan kepada manusia, yang menyerukan untuk berbuat kebaikan dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah (QS. 3: 110).” Menurut Kuntowijoyo bahwa dalam ayat ini bahwa aktor adalah "ummah", tindakannya adalah "menyuruh yang makruf," "mencegah yang munkar," dan "beriman kepada Allah." Sementara itu konsep humanisasi terungkap dalam "menyuruh yang makruf", konsep pembebasan terungkap dalam "mencegah yang munkar" dan konsep transendensi terungkap dalam "beriman kepada Allah." Tiga elemen Ilmu Sosial Profetik harus diterjemahkan melalui proses obyektifikasi nilai-nilai keagamaan yang secara elektis dan kritis dengan memilih teori ilmu sosial yang sesuai untuk diimplementasikan dalam masyarakat.
Kuntowijoyo membedakan penggabungan kembali agama dan ilmu pengetahuan dengan fundamentalisme agama dan totalitarianisme agama. (Kuntowijoyo, 2005, hal. 57-58) Untuk menghindari jebakan antara sekularisasi dengan dominasi fundamentalisme dan totalitarianisme, Kuntowijoyo mengusulkan konsep objektivikasi sebagai konsep obyektif yang berbeda. Objektivikasi adalah interpretasi dari nilai-nilai internal menjadi kategori obyektif. Diperlukan suatu proses pelembagaan dalam objektivikasi untuk menjadi model pemikiran. (Kuntowijoyo, 2005, hal. 66-67)

Permasalahan Konsep Objektifikasi dalam Ilmu Sosial Profetik

Konsep objektifikasi yang dikemukakan Kuntowijoyo merupakan konsep kunci dalam Ilmu Sosial Profetik yang memiliki arti yang berbeda dengan konsep yang sama yang dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam Social Construction of Reality: A Tretise on Sociology of Knowledge, dimana konsep objektifikasi merupakan sebuah skema dialektis realitas sosial, yang terdiri atas proses eksternalisasi-objektifikasi-internalisasi dalam kehidupan sehari-hari manusia. Dengan konsep objektifikasi, Berger dan Luckman mengartikan sebagai aktifitas manusia dan lembaga yang telah diobjektifikasi, (Berger dan Luckman, 1990, hal. 87) atau dengan lain kata merupakan proses sosial interaksi dalam dunia intersubjektif melalui proses institusionaliasi. (Parerea, 1990, hal. xx)
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa konsep objektifikasi yang diajukan Kuntowijoyo adalah sebuah konsep untuk melakukan formulasi ilmu sosial objektif melalui objektifikasi nilai-nilai transendental ke dalam teoori-teori sosial. (Subhan, 1994, hal. 99-100) Dalam hal ini, proses formulasli merupakan aktifitas interpretasi nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif, (Kuntowijoyo, 2005, hal. 25) atau peroses konkretisasi dari keyakinan internal. (Kuntowijoyo, 2002, hal. 213)
Apa yang Kuntowijoyo maksud dengan konsep objektifikasi menyerupai konsepsi metodologi. Salah satu usulan pendekatan metodologi dalam Ilmu Sosial Profetik adalah seperti yang dikemukakan diatas mengenai titik temu antara metodologi fenomenologi Albert Schultz dan argumentasi filsafat Whitehead tentang relasi antara ilmu pengetahuan dan agama. Dalam hal ini masih terbuka kemungkinan adanya pendekatan metodologi lainnya yang dapat digunakan untuk memformulasi sebuah ilmu sosial yang objektif melalui objektifikasi nilai-nilai transendental ke dalam teoroi-teori sosial seperti yang dimaksud Kuntowijoyo. Hal ini akan mengarah pada dan akan membuka wacana pendekatan metodologis dalam Studi-Studi ke-Islaman.
Salah satunya adalah seperti yang diusulkan oleh Fazlur Rahman sebagai metodologi penafsiran alternatif, mungkin sejalan dengan konsep objektifikasi yang diajukan Kuntowijoyo. Fazlur Rahman, seorang pengusung gerakan neo-modernisme dalam Studi Ke-Islaman, mengusulkan adanya upaya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam. Fazlur Rahman mengusulkan sebuah proses interpretasi yang bergerak seperti pendulum yang mengandung gerakan ganda, dari saat ini ke saat dimana al Qur’an diturunkan dan selanjutnya bergerak kembali ke saat ini. Untuk gerakan pertama, dari situasi sekarang ke masa al Qur’an diturunkan, ada dua langkah yang harus diambil. Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problema historis dimana pernyataan al Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Sedangkan untuk langkah kedua adalah melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat “disaring” dari ayat-ayat spesifik dalam latar belakang sosio-historis dan logis rasional. (Kasim, 1988, hal. 23.)
Sementara itu, wacana pendekatan metodologis dalam penafsiran al Qur’an telah mengenal dua pendekatan metodologi; pertama, penafsiran ayat dengan ayat atau hadits atau yang disebut dengan tafsir bi al ma’tsur, dan kedua, penafsiran yang menggunakan nalar atau penafsiran yang diadasrkan atas ilmu pengetahuan atau yang disebut dengan istilah tafsir bi al ra’yi. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa konsep pembaharuan terdapat dalam makna kata tajdid, sebuah upaya untuk menyesuaikan keyakinan-keyakinan agama dengan kehidupan kontemporer melalui penafsiran ayat-ayat agama yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. (Kasim, 1988, hal. 23) Dalam hal ini, Shihab mengusulkan tiga prinsip yang dapat digunakan sebagai panduan dalam melakukan pembaharuan atau tajdid dalam penafsiran ayat-ayat al Qur’an.  (Shihab, 1991, hal. 35-38.)
  1. Penafsiran ayat-ayat al Qur’an yang didasarkan pada penjelasan ayat-ayat yang lainnya, hadits dan pendapat-pendapat para sahabat Nabi, yang disebut dengan nama tafsir bi al ma’tsur. Tafsir ini dibagi ke dalam dua kategori, pertama, tema-tema yang tidak dapat diungkapkan dengan nalar manusia seperti masalah metafisik dan cara-cara beribadah; dan yang kedua, tema-tema yang dapat diungkap dengan nalar manusia, seperti isu-isu dan permasalahan masyarakat.
  2. Pembedaan antara yang Qath’iy dan yang Zhanny. Qathiy merupakan ayat-ayat yang memiliki arti yang jelas dalam al Qur’an seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah syariat. Sedangkan zhanny merupakan ayat-ayat yang tidak berhubungan dengan masalah syariat atau fiqh, maka ini merupakan bidang kajian para ulama dan para pemikir. Ini merupakan yang mendasari pembedaan antara syariat dan fiqh dalam Islam. Dalam hal ini, Shihab  merujuk kepada pendapat Ahmad Abdul al Majid dalam “Muwajahat  Ma’a ‘Anashir al-Jumud fi al Fikr al-Islamiy al-Mu’ashir,” dimana syariat merupakan sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qath’iy baik dari segi wurud-nya (keaslian sumbernya) maupun dari segi dilalah-nya (pengertiannya); sedangkan fiqh adalah penafsiran terhadap nash-nash. Menurut Shihab, prinsip yang sewajarnya dipegang dalam melakukan takwil adalah berpegang kepada yang lama yang baik dan kepada yang baru yang lebih baik. Al muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhz bi al-jadid alashlah.
  3. Penggunaan Takwil dan Metafora. Menurut Shihab bahwa para ulama mengakui perlunya takwil dalam berbagai bentuknya meskipun demikian masih terdapat perbedaan pendapat dalam syarat-syarat yang harus dipedomani dalam melakukan pe-takwilan, salah satunya adalah masalah kaidah tata bahasa dan tidak berdasarkan spekulasi nalar semata. Dalam hal ini, Shihab merujuk kepada pendapat Abu Ishaq al Syathibi bahwa ada dua syarat pokok bagi setiap pentakwilan; yaitu (a) makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya; dan (b) makna yang dipilih telah dikenal dalam bahasa Arab klasik.


Titik Temu Filosofis Ilmu Sosial Profetik

Dalam hal ini ditemukan sebuah problema dalam wacana metodologi dalam Ilmu Sosial Profetik. Kuntowijoyo membuat perbedaan antara metodologi Teologi dalam Studi Ke-Islaman dan metodologi dalam Ilmu Sosial Profetik, objektifikasi Islam, yaitu sebuah metodologi dengan memformulasi ilmu sosial yang objektif melalui objektifikasi nilai-nilai transenden ke dalam teori-teori Ilmu Sosial.
Heru Nugroho, seorang professor Soiologi Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa Ilmu Sosial Profetik memiliki kesamaan pendekatan dengan refleksi kritis yang diajukan Habermas dalam Teori Kritik-nya, dimana Ilmu Sosial Profetik muncul sebagai sebuah alternatif ditengah-tengah konstelasi dimana Ilmu Sosial cenderung positivistik dalam upaya memaparkan realitas sosial. Dalam hal ini Heru Nugroho mengatakan:  (Nugroho,1997.)

Intinya, gagasan Ilmu Sosial Profetik dapat dilihat sebagai hasil refleksi kritis sesuai dengan praktik ilmu sosial yang cenderung diabaikan. Spirit positivisme yang menekankan ilmu analitik-empiris yang harus bebas-nilai justru sering digunakan sebagai cara pembenaran oleh kekuasaan. 

Muhamad Supraja dalam bukunya ‘Menuju Ilmu Sosial Profetik’ memiliki penjelasan lain tentang munculnya Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo yang dapat ditelusuri dari cabang teori kritis dalam Fenomenologi Alfred Schutz yang berfokus pada analisis subjek, tindakan, kesadaran, kehidupan sehari-hari, dan intersubjektivitas. (Supraja, 2018, hal. 13.) Fenomenologi Alfred Schutz pada dasarnya memiliki karakteristik antroposentrik, materialistik, dan sekularistik yang terpisah dari agama dan sikap pesimisme terhadap peran agama sebagai sumber pengetahuan yang dapat menginspirasi dan mentransformasi. Hal ini sama dengan penjelasan Herbert Mercuse dalam bukunya One Dimensional Man dan Erich Fromm yang mendasari pondasi mereka pada filosofat eksistensialisme Satre dalam upaya melawan kemunduran masyarakat kapitalis modern yang tidak manusiawi dan menjauhkan kesadaran manusia dari sejarah manusia. (Supraja, 2018, hal. 8-13.)
Menurut Muhammad Supraja, Kuntowijoyo telah membuat pertemuan filosofis antara fenomenologi Alfred Schutz dan filsafat Whitehead, yang disebut oleh Muhammad Supraja sebagai Sosiologi Fenomenologi Profetik dan merupakan sebuah bentuk sosiologi fenomenologi dengan tujuan mengubah individu dan masyarakat menjadi kondisi yang lebih baik. Dalam hal ini, Kuntowijoyo tidak bermaksud mengangkat wacana filosofis atau menolak teori-teori sosial barat tetapi ia ingin memberikan ilmu sosial alternatif, yang Ilmu Sosial Profetik yang terdiri dari tiga landasan; liberalisasi, humanisasi, dan transendensi. (Supraja, 2018, hal. 17)

Penutup
Gagasan Ilmu Sosial Profetik yang diprakarsai oleh Kuntowijoyo tidak dapat dipisahkan oleh pengaruh penyebaran gagasan Ismail al Faruqi tentang Islamisasi ilmu pengetahuan di Indonesia. Dalam hal ini, Kuntowijoyo mengusulkan istilah lain yang disebut dengan saintifikasi Islam. Dalam Islamisasi ilmu pengetahuan, al Faruqi mengusulkan cara berpikir dari "konteks" ke "teks." Sementara itu dalam Saintifikasi Islam, Kuntowijoyo mengusulkan cara berpikir dari "teks" ke "konteks." Dengan cara ini, apa yang Kuntowijoyo maksud dalam Ilmu Sosial Profetik adalah saintifikais Islam yang telah dilakukan secara sporadis oleh banyak cendekiawan di Indonesia khususnya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, lembaga penelitian Islam dan lembaga think thank Islam, guna menemukan jalan yang relatif baru untuk mengatasi permasalahan lama dalam persoalan masyarakat.
Sebagai kesimpulan, dapat disimpulkan disini bahwa meskipun pelembagaan ilmu sosial profetik di Indonesia belum dilakukan secara sistematis dan terorganisir dengan baik, upaya mendokumentasikan hasil studi secara sporadis sangat diperlukan dalam komunitas ilmiah di Indonesia. Hal ini penting untuk semakin mempermudah dan menyebarluaskan ilmu sosial profetik sebagai sebuah paradigma alternatif dalam ilmu-ilmu sosial dan juga sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan dan lebih memperjelas ilmu sosial profetik baik secara metodologis maupun epistemologis. Wallaahu a’lam bi ash showwab.


Daftar Pustaka
Al Faruqi, Ismail R., Editorial Introduction in Bagader, Abubaker A.., (1985) Islamisasi ilmu Sosial. Translation: Muchtar Efendi Harap, Eddi S. Hariyadhi, and Lukam Hakiem. Yogayakarta: PLP2M.

Berger, Peter L., Luckman, Thomas, (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah risalah tentang Sosiologi Pengetahuan , Jakarta: LP3ES. Translation: Hasan Basari.

Berger, Peter L., (1991)  Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Translation Hartono. Jakarta: LP3ES.

Breaten, Jane. 1991. Habermas’s Critical Theory of Society. New York: State University of New York Press.

Burns, William E., 2011. The Scientific Revolution : An Encyclopedia, Santa Barbara California: ABC-CLIO.

Demals, Thierry, Enlightentment in Europe, London: Routledge Historical Resources History of Economic Thought, p. 2. Accessed on 22 April 2018. Retrieved from http://dx.doi.org/10.4324/9781138201521-HET8 -1

Friederich, Robert, 1970. A Sociology of Sociology, New York: MacMillan Publishing.

Fromm, Erich, 1963. The Dogma of Christ., Canada: Holt, Rinehart, and Winston of Canada.

Fukuyama, Francis, 2005. The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order. Translation: Masri Maris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hasan, Yusuf A., “Ilmu Sosial Profetik dan Sejumlah Agenda ke Depan: Refleksi atas Pemikiran Dr. Kuntwijoyo,’ Jurnal Mukaddimah, No.6:IV, 1998.

Hirschman, Charles, The Development of the Social Sciences Prior to Globalization and Some Thoughts on the Future, Washington: University of Washington, Presented at the UCLA Conference on Southeast Asian Studies in the 21st Century, April 14-15, 2000, Los Angeles, California.

Kasim, Ifdhal, Neo-Modernism Islam: Upaya-Upaya Pembaharuan Fazlur Rahman. HIMMAH No. 2 (STT NO. 4/XXI), November –December 1988., Yogyakarta: Student Magazine of Indonesian Islamic University

Kuhn, Thomas, (1962). The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of Chocago Press.

Kuntowijoyo, 1984. “Islam sebagai Suatu Ide,” Prima Ekstra.

Kuntowijoyo, 1991, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo, 1997, Identitas Politik Umat Islam, Bandung.

Kuntowijoyo, 2001, “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial”, Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, IAIN Sunan Kalijaga, No. 61/1988.

Kuntowijoyo. 2002.  Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. 2005.  Islam sebagai Ilmu. Jakarta: Teraju.

Machamer, P. (1998). Philosophy of science: An overview for educators. Science & Education, 7, p. 1-11.

Masyuhur Amin (ed.) 1989. Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam. Yogyakarta: LKPSM NU DIY.

Medley, Morrid L., and Conyers, James E. (eds), 1968. Sociology of the Seventies, New York: Joh  Wiley.

Myrdal, Gunar, 1981. Objektifitas Penellitian Sosial. Translation: Victor I. Tanja, Jakarta: LP3ES.

Nugroho, Heru, 2018. “Mencari Legitimasi Akademik Ilmu Sosial Profetik, Kedaulatan Rakyat, 13 Desember 1997.

Peck, H. T., Peabody, S. H., & Richardson, C. F. (1897). The International Encyclopedia: A Compendium of Human Knowledge. New York: Dodd Mead & Company.

Rahardjo,  M. Dawam, “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat,” Paradigma.

Rais, M. Amien, 1984. Krisis Ilmu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga., Yogyakarta: PLP2M.

Ritzer, George, 1983. Sociology: A Multiple Paradigm Science. Translation: Drs. Alimandan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ritzer, George, 1983. Modern Sociological Theory. New York: McGraw-Hill.

Safi, Louay, (2001) Ancaman Metodologi Alternatif: Sebuah Perbandingan Metode Penilitian Islam dan Barat., translation: Imam Khoiri, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Subhan, Arief, (1994) “Dr. Kuntowijoyo: al_qur’an sebagai Paradigma,” Jurnal Ulumuul Quran, No. 4, Volume V, p. 99-100.

Sudarajat, Ajat, Miftahuddin, Djumarwan (2014) Kuntowijoyo dan Pemikirannya: Dari Sejarawan hingga Cendikiawan, Yogyakarta: Fakultas Imu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.

Supraja, Muhamamad, 2018. Menuju Ilmu Sosial Profetik, Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Syariati, Ali, 1988. Membangun Masa Depan Islam, Bandung: Mizan..

Veeger, K.J., (1986) Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi.  Jakarta: PT Gramedia.


Whitehead, Alferd North, 1956. Science and the Modern World. United Sates of America: the New Amerian Library.



SHARE

Author: verified_user