“Cultural matters are integral parts of the lives we lead. If development can be seen as enhancement of our living standards, then efforts geared to development can hardly ignore the world of culture.”Amartya Sen
Kawasan Kesawan Square. (foto: ist) |
Persoalan konservasi warisan budaya perkotaan merupakan salah satu bagian penting dari kebijakan publik di seluruh dunia, sebagai respon terhadap kebutuhan untuk melestarikan nilai-nilai bersama dan untuk mendapatkan keuntungan baik dari segi sosial dan ekonomi dari warisan sejarah itu sendiri.
Demikian halnya dengan Pemerintah Kota Medan yang telah memberikan perhatian terhadap persoalan konservasi budaya di Kota Medan dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kota Medan No 13 Tahun 2011 tentang RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA MEDAN TAHUN 2011-2031. Dalam peraturan daerah tersebut, warisan budaya perkotaan disebut sebagai kawasan strategis bidang budaya yaitu kawasan yang memiliki nilai strategis kota dengan sudut kepentingan sosial budaya kota, yaitu kawasan Polonia, kawasan Kota Lama Labuhan Deli (Toapekong Labuhan), Rumah-rumah Toko Pekong, Rumah-rumah Melayu, Mesjid Raya Labuhan, bangunan yang semula Bea Cukai dan Stasiun Kereta Api Belawan, Kawasan Perumahan dan Pergudangan yang semula DSM di Pulo Brayan, Kawasan Istana Maimun, Kawasan Kampung Keling dan Kawasan Kesawan. Rencana pemerintah daerah Kota Medan untuk melakukan konservasi wilayah-wilayah cagar budaya tersebut patut untuk diapresiasi, terutama ditengah derasnya arus urbanisasi dan komersialisasi yang mengiringi pembangunan Kota Medan.
Salah satu upaya untuk melakukan konservasi warisan budaya perkotaan atau kawasan strategis bidang budaya tersebut adalah di wilayah kota tua Kesawan yang kemudian dikonservasi menjadi “Kesawan Square”. Kesawan Square berada di kawasan Jalan Ahmad Yani yang merupakan kawasan kota lama Medan. Berada di jalan sepanjang 800 meter ini, dibuka wisata kuliner di antara bangunan tua peninggalan masa penjajahan.Belakangan “Kesawan Square” tidak dapat dilihat lagi keberadaannya. Jika ditelisik, konsep “Kesawan Square” merupakan konsep yang kurang sesuai sebagai upaya untuk melakukan konservasi kawasan kota bersejarah. Gedung-gedung tua di kawasan tersebut masih tetap tidak tersentuh dengan upaya revitalisasi. Dibutuhkan konsep yang sesuai untuk menghidupkan kembali gedung-gedung tua tersebut agar wajah Kawasan Kesawan masa lalu dapat tampil dalam konteks kekinian.
Konsep awal dari pelestarian adalah konservasi, yaitu pengawetan benda-benda monumen dan sejarah (lazimnya dikenal sebagi preservasi), dan akhirnya hal itu berkembang pada lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi.Pada dasarnya, makna suatu konservasi dan preservasi tidak dapat terlepas dari makna budaya. Di samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik. Dalam perencanaan suatu lingkungan kota, unit dari konservasi dapat berupa sub bagian wilayah kota bahkan keseluruhan kota sebagai sistem kehidupan yang memang memiliki ciri atau nilai khas.
Salah satu kegiatan dari konservasi adalah revitalisasi atau upaya untuk mendaur-ulang (recycle) yang tujuannya untuk memberikan vitalitas baru, dan meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (revitalisasi) yang pada awalnya pernah ada namun telah memudar. Kegiatan revitalisasi muncul karena adanya permasalahan yang muncul sejalan dengan perkembangan kota yang begitu cepat dan membawa perubahan yang cukup drastis. Perubahan tersebut seringkali mengakibatkan timbulnya masalah yang pembenahannya seringkali memaksa kota untuk mengabaikan pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan program peremajaan kota, penggusuran permukiman kumuh yang dilakukan dengan alasan demi keindahan kota, perubahan tatanan perdagangan tradisional menjadi tatanan modern, penghancuran bangunan-bangunan lama dan diganti dengan bangunan baru dengan dalih tidak memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi.
Dengan demikian maka revitalisasi dapat menjadi alternatif dalam memecahkan masalah pelestarian wajah kota lama, dan kebutuhan ruang teratasi dengan meminimalisasikan pudarnya eksistensi kota lama. Pada dasarnya proses revitalisasi kota terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: intervensi fisik; rehabilitasi ekonomi; dan revitalisasi sosial/institusional. Oleh karena itu, revitalisasi kawasan kota dapat juga disebut sebagai konsep pelestarian yang terintegrasi dengan “wajah” kota lama akan tetap terpelihara, aktivitas saat ini dapat tertampung dan dapat memberikan keuntungan ekonomi.
Pada Bulan November 2011 UNESCO mengeluarkan sebuah rekomendasi baru tentang Lanskap Perkotaan Bersejarah (Historic Urban Landscape) pada konferensi umum UNESCO ke-36, sebuah pendekatan yang berkaitan dengan masalah kawasan sejarah budaya di kawasan perkotaan.Pendekatan Lanskap Perkotaan Historis melihat warisan kota sebagai aset sosial, budaya dan ekonomi untuk pengembangan kota, dengan fokus pada lingkungan manusia secara keseluruhan dengan semua kualitas berwujud dan tidak berwujudnya. Tujuannya adalah untuk mengelola lanskap perkotaan bersejarah secara holistik dengan mengintegrasikan tujuan konservasi warisan budaya kota dalam pembangunan sosial dan ekonomi.
ICOMOS (International Council on Monuments and Sites), sebuah asosiasi yang bertujuan untuk melakukan konservasi dan proteksi kawasan-kawasan warisan budaya di seluruh dunia, memandang pendekatan Lanskap Perkotaan Bersejarah tersebut mengimplikasikan bahwa kota-kota yang memiliki warisan budaya harus memelihara jiwa dan karakternya sebagaimana yang tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat, juga dalam nilai-nilai sosial dan budaya, yang berwujud maupun tidak. Menurut lembaga ini, pendekatan ini membutuhkan dua hal mendasar dalam melakukan konservasi warisan budaya di perkotaan, yaitu interpretasi dan presentasi.Interpretasi merujuk pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran publik dan meningkatkan pemahaman mengenai situs warisan budaya.Presentasi merupakan komunikasi yang direncanakan secara baik yang bersumber dari interpretasi yang telah dilakukan terhadap informasi, akses fisik, dan infrastruktur pada suatu situs warisan budaya.
Beberapa prinsip yang berkaitan dengan upaya interpretasi dan presentasi, diantaranya;
Akses dan pemahaman; interpretasi dan presentasi program konservasi harus memfasilitasi akses publik intelektual dan fisik terhadap situs-situs warisan budaya, yang dapat mendorong individu-individu dan komunitas untuk merefleksikan persepsi mereka sendiri terhadap sebuah situs dan membantunya untuk membentuk hubungan yang bermakna dengannya. Tujuannya adalah untuk merangsang ketertarikan, pembelajaran, pengalaman, dan eksplorasi lebih lanjut.
1.
Sumber-sumber informasi; interpretasi dan presentasi harus
didasarkan atas bukti yang dikumpulkan melalui ilmu pengetahuan dan dasar-dasar
metode ilmiah yang diterima secara umum juga melalui tradisi-tradisi budaya
yang hidup di masyarakat.
2.
Konteks dan keadaan; interpretasi dan presentasi mengenai
situs-situs warisan budaya harus memiliki hubungan dengan konteks dan keadaan
sosial, budaya, historis dan alam yang lebih luas.
3. Otensitas; interpretasi dan presentasi situs-situs warisan budaya
harus mematuhi semangat Dokumen Nara UNESCO; dimana otensitas kawasan perkotaan
historis tidak hanya ditunjukkan dengan keberadaan monumen-monumen atau
aspek-aspek yang berwujud akan tetapi juga aspek yang tidak berwujud, seperti
cara hidup, fungsi kota dan lainnya. Seluruh media presentasi harus
memperhatikan konteks historis dan pengaruhnya pada gambaran kota itu sendiri.
Merujuk pada pendekatan lanskap perkotaan bersejarah ini, persoalan konservasi budaya di wilayah perkotaan tampaknya kemudian menjadi persoalan yang tidak sederhana mengingat Kota Medan merupakan sebuah kota yang akan menginjak usia ke-426 tahun telah melalui proses perubahan sosial budaya yang panjang. Sejarah telah menunjukkan bahwa pergolakan sosial politik dan proses globalisasi telah merubah wajah sosial budaya Kota Medan, untuk itu dibutuhkan upaya yang lebih sistematis dan terencana agar konservasi budaya tersebut membuahkan hasil yang maksimal.
Konservasi warisan budaya perkotaan dengan menggunakan pendekatan Lanskap Kota Bersejarah ini telah dilakukan di beberapa tempat di seluruh dunia. Pendekatan ini juga telah dilakukan di salah satu sudut kota Medan, yaitu konservasi “Jembatan Kebajikan”. Pada tahun 2003, Jembatan Kebajikan mendapat penghargaan dari UNESCO (Asia Pacific Haritage) Award of Merit Virtuous Bridge sebagai jembatan yang masuk dalam konservasi warisan budaya. Jembatan yang menghubungkan Jalan Zainul Arifin Kampong Madras dan Jalan Gadjah Mada di Medan telah berusia 100 tahun (1911-2016), dibangun oleh Tjong Yong Hian dan Tjong A Fie. Sejak dibangun jembatan ini tidak mengalami perubahan konstruksi sama sekali, jembatan ini berfungsi sebagai penghubung daerah kawasan-kawasan Melayu, Tionghoa, India, dan Belanda di Medan pada masanya. Hal ini menandakan bahwa Tanah Deli (Kota Medan) hingga saat ini adalah suatu kawasan kota multietnik yang dinamis.