Judul: Parijs Van Soematra
ISBN: 9786029653106
Penulis: Alexander Avan
Penerbit: Rainmaker Publishing House
Terbit: Januari 2011
Tebal: 138 Halaman [mor]
Di pantai timur pulau Sumatra yang bersahaja terdapat sebuah kesultanan kecil orang - orang Melayu yang menjadi bagian dari koloni Hollandia di Hindia Belanda yang luas. Koloni itu terkenal berkat tembakaunya. Tembakau yang mengubah sebuah kampung menjadi sebuah ibu koloni yang makmur.
ISBN: 9786029653106
Penulis: Alexander Avan
Penerbit: Rainmaker Publishing House
Terbit: Januari 2011
Tebal: 138 Halaman [mor]
Di pantai timur pulau Sumatra yang bersahaja terdapat sebuah kesultanan kecil orang - orang Melayu yang menjadi bagian dari koloni Hollandia di Hindia Belanda yang luas. Koloni itu terkenal berkat tembakaunya. Tembakau yang mengubah sebuah kampung menjadi sebuah ibu koloni yang makmur.
Selain kemakmuran ternyata disana juga terdapat kesusahan hidup. Kesusahan yang dialami oleh para pekerja kebon-kebon tembakau yang hidup sebagai kuli kontrak. Sementara para kaum elite koloni menyebut ibu koloni mereka sebagai Parijs van Soematra; para pekerja dan pejuang kemerdekaan disana, tanpa sadar mengadopsi liberte , egalite, fraternite sebagai prinsip perlawanan mereka.
Ada banyak cerita yang terjadi disana. Mulai dari persaingan Britania & Hollandia, sampai kepada revolusi yang berdarah - darah. Benarkah Parijs van Soematra ada? Apa dan bagaimana ia yang sebenarnya? Historiografi sederhana ini mencoba bercerita sedikit, yang mudah - mudahan saja dapat memberi jawaban untuk kita. Tapi tentu saja semua pemahaman dari kisah sejarah ini kembali kepada kita sendiri.
Di masa pemerintahan kolonial Belanda, kota Medan pernah dijuluki atau mendapat trade mark sebagai Parijs van Soematra. Ketika itu, memang kota Medan memiliki keindahan yang mirip seperti kota Paris. Sayangnya, hingga saat ini tak banyak masayarakat yang mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya Parijs van Soematra yang pernah melegenda itu. Padahal, Parijs van Soematra merupakan sebuah episode sejarah yang unik.
Namun, minimnya referensi mengenai hal ini membuat Alexander Avan, alumni fakultas Sejarah USU tertarik untuk meneliti lalu menuliskan kisah tentang Parijs van Soematera. Buku setebal 160 halaman ini mengupas seluk beluk Parijs van Soematra dengan tajam, diluncurkan sekaligus di bedah di Aula Serbaguna Fakultas Sastra USU. Mengangkat tema ‘Mengupas Identitas Medan Melalui Parijs van Soematra yang terlupakan’, buku tersebut dibedah oleh Dr Suprayitno, pengajar Sejarah USU, Lucas P Koestoro DEA, Kepala Balai Arkeologi Medan, Dra Ratna, MS, Ketua MSI dan penulis.
Suprayitno dalam bedah bukunya mengkritisi karya Alexander Avan ini dari sisi ilmiah. Disebutkannya, dalam buku tersebut, penulis tidak menjelaskan tentang tema juga tujuan dari penulisan buku tersebut. Tak hanya itu, ending dari Parijs van Soematra ini juga tidak jelas karena masih menggunakan kemungkinan. Begitupun, menurutnya ini merupakan karya original yang patut diberi apresiasi, sebab di Medan sendiri belum ada karya yang seperti ini.
Sementara Lucas P Koestoro, menyatakan kalau selama ini sejarah itu memang merupakan suatu hal yang kurang menarik bagi masyarakat. Namun, penulis mampu membuat interprestasi baru dari sumber-sumber sejarah yang lama, termasuk menggunakan sumber-sumber visual untuk menghadirkan sesuatu yang berbeda. Bagi Lucas buku ini menunjukkan sesuatu yang berbeda tentang penyampaian sejarah dengan gaya penulisan yang berbeda.
Sedangkan Dra Ratna MS lebih menyambut baik terbitnya buku Parijs van Soematra. Alexander masih begitu muda, namun sudah menghasilkan karya yang luar biasa. Ini harus diberikan apresiasi, pujinya. Menurut Ratna, Alexander memberi warna tersendiri dalam menafsirkan Parijs van Sumatera yang pernah melekat pada kota Medan. Avan telah memberi gambaran mengenai sejarah Medan tempo dulu dalam bentuk naskah yang sederhana. Tapi dengan bahasa yang renyah dan tentunya mengajak kita untuk berpikir.
Rangkul MSI dan Penerbit Indie
Alexander Avan sendiri ketika disinggung tentang proses kreatifnya mengakui kalau referensi tentang Parijs van Soematra itu sendiri memang sangat minim sekali. Disebutkan Alexander, referensinya hanya terdapat pada buku 50 tahun Kotapraja Medan, karya Roestam Thayyib dan novel biografis Daoed Joesoef berjudul Emak. Selebihnya tidak ada referensi yang bisa membuat kita mengetahui tentang Parijs van Soematera.
“Saya tertarik meniliti ini awalnya, karena memang sangat sulit bagi kita untuk menemukan referensi tentang Parijs van Soematera,” sebut Alexander.
Berawal di akhir tahun 2007 lalu, lelaki kelahiran Medan tahun 1983 ini mengusulkan sebuah penelitian revitalisasi Parijs van Soematera kepada Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumut. Selanjutnya, melalui MSI konsep penelitian ini kemudian diusung dalam sebuah proposal penelitian kepada Pemko Medan. Namun, karena ketika itu ada permasalahan yang menyangkut Walikota mengakibatkan proposal ini pun tak diketahui kemudian kelanjutannya. Begitupun, MSI dan Alexander terus berusaha, dan mengirimkan kembali proposal kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Sumut. Namun, hingga akhir tahun 2008, proposal penelitian tersebut mentok tak ada kelanjutan.
Tetapi, karena berangkat dari keinginan yang kuat, anak pertama dari empat bersaudara ini, kemudian melakukan penelitian sendiri. Penelitian kemudian dilakukan tidak sekadar dari literatur sejarah yang ada, tapi turut juga dibantu dengan observasi ruang hingga interprestasi foto-foto.
“Kesulitan bagi saya, karena minimnya data dan literatur terkait hal ini. Sehingga, saya harus melakukan observasi ruang. Untuk itu, saya juga harus kuat melakukan interprestasi termasuk foto-foto lama,” sebut anak dari Sarno Syam dan Suwarty Fatimah.
Proses penulisan bukunya terus berjalan seiring dengan proses penelitian yang dilakukan. Hingga akhir tahun 2009, cikal bakal buku Parijs van Soematra ini pun kelar. Kemudian di bulan Februari 2009, buku dicetak oleh penerbit Rainmaker Publishing House. Sebuah penerbitan buku indie di Medan.
“Awalnya, saya juga sudah mencoba menawarkan tulisan saya ini ke beberapa penerbit, namun belum ada yang merespon positif. Akhirnya, saya menerbitkannya sendiri,” terang Alexander.
Setiap bab dalam buku ini memberikan pembaca sebuah pengalaman baru yang terkadang sering mengejutkan. Alexander dalam bukunya tidak hanya sebatas menjelaskan apa itu Parijs van Soematra, melainkan juga asal mula bisnis perkebunan di Medan, cikal bakal kota Medan, sampai kepada liberte egalite fraternite yang menjadi semangat perlawanan para pekerja dan pejuang di Medan kala itu.
Diperkirakan Alexander, Parijs van Soematra ini dibangun sekitar tahun 1880-an. Dalam bukunya, Alexander menafsirkan Parijs van Soematra sebagai ibu koloni tembakau, konsep liberte, egalite, fraternite, gemeente, sultan ground dan onderneming.
Belanda di masa itu, kata Alexander berupaya mencuatkan ego elistisnya dengan membangun kawasan Kesawan dan Lapangan Merdeka sebagai kawasan pusat koloni tembakau. Belanda kemudian membangun gedung-gedung bergaya Eropa di wilayah tersebut sebagai pendukung dari pusat bisnis perkebunan Belanda pada masa itu yaitu PT Deli Maatschappij.
Tapi, melalui buku ini, Alexander menguak sejarah bahwa Parijs van Soematra tidak sekadar bangunan-bangunan megah yang dibangun oleh Belanda di kawasan pusat kota ketika itu, melainkan keseluruhan kota Medan, termasuk geliat perkebunan di pinggir kota (onderneming) hingga konsep perlawanan pekerja di masa itu yaitu liberte, egalite, fraternite. (anggia nasution)